Psikologi Perilaku Fanatik
Belakangan ini gejala maraknya fanatisme buta sedang melanda dunia, terutama tumbuh subur di kalangan orang muda. Bentuk-bentuk fanatisme buta ini sudah mengarah kepada perilaku yang membahayakan sehingga perlu dikaji secara seksama, menyangkut karakteristiknya, sebab-sebab timbulnya dan bagaimana upaya meredam dan menghindari bahayanya.
Fanatik adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau yang negatif, pandangan yang tidak memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah diluruskan atau diubah.
Fanatisme biasanya tidak rasional. Oleh karena itu,
argumen rasional pun susah digunakan untuk meluruskannya. Secara
psikologis, seseorang yang fanatik biasanya tidak mampu memahami apa-apa
yang ada di luar dirinya, tidak faham terhadap masalah orang atau
kelompok lain, tidak mengerti faham atau filsafat selain yang mereka
yakini. Tanda-tanda yang jelas dari sifat fanatik adalah ketidak mampuan
memahami karakteristik individual orang lain yang berada diluar
kelompoknya, benar atau salah.
Fanatisme dapat dijumpai di setiap lapisan masyarakat, di negara
maju, maupun di negara terbelakang, pada kelompok intelektual maupun
pada kelompak awam, pada masyarakat beragama maupun pada masyarakat
ateis. Pertanyaan yang muncul ialah apakah fanatisme itu merupakan sifat
bawaan manusia atau karena direkayasa?
Sebagian pakar psikologi
mengatakan bahwa sikap fanatik itu merupakan sifat natural (fitrah)
manusia, dengan alasan bahwa pada lapisan masyarakat manusia di manapun
dapat dijumpai individu atau kelompok yang memilki sikap fanatik.
Dikatakan, bahwa fanatisme itu merupakan konsekuensi logis dari
kemajemukan sosial atau heteroginitas dunia, karena sikap fanatik tak
mungkin timbul tanpa didahului perjumpaan dua kelompok sosial.
Dalam kemajemukan itu manusia menemukan kenyataan ada orang yang
segolongan dan ada yang berada di luar golongannya. Kemajemukan itu
kemudian melahirkan pengelompokan “in group” dan “out group“.
Fanatisme dalam persepsi ini dipandang sebagai bentuk solidaritas
terhadap orang-orang yang sefaham, dan tidak menyukai kepada orang yang
berbeda faham. Ketidaksukaan itu tidak berdasar argumen logis, tetapi
sekadar tidak suka kepada apa yang tidak disukai (dislike of the unlike).
Sikap fanatik itu menyerupai bias dimana seseorang tidak dapat lagi
melihat masalah secara jernih dan logis, disebabkan karena adanya
kerusakan dalam sistem persepsi (distorsion of cognition).
Jika ditelusuri akar permasalahannya, fanatik – dalam arti cinta buta
kepada yang disukai dan antipati kepada yang tidak disukai – dapat
dihubungkan dengan perasaan cinta diri yang berlebihan (narcisisme),
yakni bermula dari kagum diri, kemudian membanggakan kelebihan yang ada
pada dirinya atau kelompoknya, dan selanjutnya pada tingkatan tertentu
dapat berkembang menjadi rasa tidak suka , kemudian menjadi benci kepada
orang lain, atau orang yang berbeda dengan mereka. Sifat ini merupakan
perwujudan dari egoisme yang sempit.
Pendapat kedua mengatakan
bahwa fanatisme bukan fitrah manusia, tetapi merupakan hal yang dapat
direkayasa. Alasan dari pendapat ini ialah bahwa anak-anak, dimanapun
dapat bergaul akrab dengan sesama anak-anak, tanpa membedakan warna
kulit ataupun agama. Anak-anak dari berbagai jenis bangsa dapat bergaul
akrab secara alami sebelum ditanamkan suatu pandangan oleh orang tuanya
atau masyarakatnya. Seandainya fanatik itu merupakan bawaan manusia,
pasti secara serempak dapat dijumpai gejala fanatik di sembarang tempat
dan disembarang waktu. Nyatanya fanatisme itu muncul secara berserakan
dan berbeda-beda sebabnya.
Ada teori lain yang lebih masuk akal yaitu bahwa fanatisme itu berakar
pada pengalaman hidup secara aktual. Pengalaman kegagalan dan frustrasi
terutama pada masa kanak-kanak dapat menumbuhkan tingkat emosi yang
menyerupai dendam dan agressi kepada kesuksesan, dan kesuksesan itu
kemudian dipersonifikasi menjadi orang lain yang sukses. Seseorang yang
selalu gagal terkadang merasa tidak disukai oleh orang lain yang sukses.
Perasaan itu kemudian berkembang menjadi merasa terancam oleh orang
sukses yang akan menghancurkan dirinya. Munculnya kelompok ultra ekstrim
dalam suatu masyarakat biasanya berawal dari terpinggirkannya peran
sekelompok orang dalam sistem sosial (ekonomi dan politik) masyarakat
dimana orang-orang itu tinggal.
Jalan fikiran orang fanatik itu bermula dari perasaan bahwa orang
lain tidak menyukai dirinya, dan bahkan mengancam eksistensi dirinya.
Perasaan ini berkembang sedemikian rupa sehinga ia menjadi frustrasi.
Frustrasi menumbuhkan rasa takut dan tidak percaya kepada orang lain.
Selanjutnya perasaan itu berkembang menjadi rasa benci kepada orang
lain. Sebagai orang yang merasa terancam maka secara psikologis ia
terdorong untuk membela diri dari ancaman, dan dengan prinsip lebih baik
menyerang lebih dahulu daripada diserang, maka orang itu menjadi
agressif.
Cara Mengobati Perilaku Fanatik, karena perilaku fanatik
mempunyai akar yang berbeda-beda, maka cara penyembuhannya juga
berbeda-beda. Pertama Pengobatan yang sifatnya sekedar mengurangi atau
mereduksi sikap fanatik harus menyentuh masalah yang menjadi sebab
munculnya perilaku fanatik. Kedua, Jika perilaku fanatik itu disebabkan
oleh banyak faktor maka dalam waktu yang sama berbagai cara harus
dilakukan secara serempak (simultan) .
Perilaku fanatik yang disebabkan oleh masalah ketimpangan ekonomi,
pengobatannya harus menyentuh masalah ekonomi, dan perilaku fanatik yang
disebabkan oleh perasaan tertekan, terpojok dan terancam, maka
pengobatannya juga dengan menghilangkan sebab-sebab timbulnya perasaan
itu. Pada akhirnya, pelaksanaan hukum dan kebijaksanaan ekonomi yang
memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat secara alamiah akan
melunturkan sikap fanatik pada mereka yang selama ini merasa teraniaya
dan terancam.
No comments:
Post a Comment